07 November 2007

Partai Politik Kristen, Perlukah?

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0702/23/opi01.html


Oleh
Andreas A Yewangoe

Pertanyaan ini kembali mengemuka ketika kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik dibuka seluas-luasnya pada masa-masa permulaan era reformasi. Ketika pada tahun 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dibentuk, hampir semua orang tidak menolak kehadirannya.
Pembentukannya itu dianggap perlu, bukan saja untuk menanggapi secara positif Maklumat Wakil Presiden tentang pembentukan partai-partai politik, tetapi juga untuk membuktikan bahwa orang-orang Kristen pun mempunyai andil penting di dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan Negara RI.
Segera setelah pembentukannya, kita menyaksikan kiprah Parkindo yang cukup signifikan. Dalam hampir semua kabinet, entah itu dibentuk oleh Masyumi atau oleh PNI, selalu ada wakil Parkindo di dalamnya. Demikian juga ketika negeri kita berada di bawah sistem “Demokrasi Terpimpin” kehadiran Parkindo tetap nyata, kendati generasi belakangan mengkritiknya sebagai kurang kritis terhadap sistem pemerintahan yang sedang berlaku.
Ketika negeri kita berada di bawah rezim Orde Baru terjadilah penyederhanaan partai-partai politik. Sebagai “Partai Pemerintah” Golkar menduduki tempat utama, sedang partai-partai lainnya difusikan. Parkindo yang semula merupakan satu dari sepuluh partai yang diakui lalu memfusikan diri dengan partai-partai berasaskan kebangsaan. Itulah yang dikenal sebagai Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Alhasil, di dalam era itu kita hanya mengenal Golkar dan dua partai politik. Sering dua partai politik ini hanya dipandang tidak lebih sebagai aksesori demokrasi.
Ketika dalam era reformasi diberi kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara membentuk partai-partai politik, orang-orang Kristen pun tidak ketinggalan menyambutnya. Mereka merasa berhak dan berkewajiban membentuk partai dengan nilai-nilai kekristenan.
Maka lahirlah belasan partai Kristen, walau dalam Pemilu-pemilu hanya PDKB (1999) dan PDS (2004) yang berhasil mengikutinya. Keduanya berhasil mendudukkan wakil-wakilnya di DPR-RI, namun tidak mencapai electorate threshold.
Menjelang 2009, kembali partai-partai Kristen ini berusaha untuk mengikuti Pemilu. Sementara itu diusahakan juga untuk mem”fusi”kan partai-partai Kristen yang ada. Namun pertanyaan mendasar adalah apakah perlu sebuah partai Kristen?

Ketika Gereja Ditutup Paksa
Dari berbagai diskusi, antara lain yang difasilitasi bersama oleh PGI, PGLII, dan PGPI muncul setidak-tidaknya dua pendapat yang saling bertentangan. Satu pihak berpendapat tidak perlu dan menganjurkan orang-orang Kristen menggabungkan diri saja dengan partai-partai politik yang ada. Pada pihak lain, kuat juga pendapat yang membela perlunya sebuah partai politik Kristen.
Ini didasarkan pada pengalaman bahwa kepentingan Kristen sama sekali tidak diperhatikan oleh partai-partai politik yang ada, yang kepadanya suara orang-orang Kristen “dititipkan”. Dikemukakan contoh, ketika sekian banyak gedung gereja ditutup secara paksa di beberapa tempat di Tanah Air, partai-partai itu diam seribu bahasa. Maka sebuah partai politik Kristen bukan saja perlu, tetapi mendesak.
Bagaimanapun tidaklah bisa menjawab sekadar “ya” atau “tidak” pertanyaan perlukah partai politik Kristen. Dengan bercermin pada negara-negara “Barat” yang telah maju, bisa dikatakan bahwa adanya partai-partai politik adalah sebuah gejala modern.
Di Belanda misalnya, baru dimulai sejak 1848, ketika sistem parlementer dengan pertanggunganjawaban kementerian diwujudkan. Adanya partai politik bertolak dari pra-anggapan bahwa manusia yang dewasa (artinya dalam pemikiran dan perilaku), melalui pemikiran dan perbuatannya, patut mengambil bahagian dalam perkara-perkara publik. Berbeda dengan kebiasaan di era monarki absolut, di mana rakyat hanya merupakan objek kekuasaan sang Raja (Ratu), kini mereka pun subjek kekuasaan.
Yang dimaksud dengan perkara-perkara publik adalah yang menyangkut kehidupan bersama, pemikiran bersama, penilaian bersama, keputusan bersama dan perbuatan bersama. Di dalam pemikiran dasar ini terkandung dua unsur penting, yakni setiap warganegara berhak mengambil prakarsa, tidak usah selalu menunggu “mobilisasi” penguasa, dan bisa menolak dengan tegas hal-hal yang bersifat absolut.
Dari sudut pandang gereja, adanya sebuah partai politik dapat dilihat sebagai upaya menyampaikan suara-suara kenabian dan melakukan tugas-tugas pengudusan. Partai politik dipahami sebagai bahagian dari usaha mencari kebenaran dan kebaikan, menyerukannya dan mengarahkan kehidupan agar sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan itu.

Keuntungan dan Kerugian
Tetapi rumusan ini belum menjawab pertanyaan. Mungkin baik pula dicatat apakah keuntungan dan kerugian sebuah partai politik Kristen. Keuntungannya adalah, dengan sebuah partai politik Kristen, sebuah forum tersedia, di mana berbagai persoalan masyarakat dan negara direnungkan, direfleksikan, dan didiskusikan secara mendalam dengan bertolak dari Penyataan Allah.
Rasanya hal ini sangat mendasar. Tidak ada hal-hal yang berlaku dalam masyarakat dan negara yang terhindar dari Pemeliharaan Allah. Partai Kristen pun dapat menjadi forum perjuangan bagi “kepentingan Kristen”, tentu saja bersama-sama dengan elemen-elemen masyarakat lainnya. Kita tidak perlu mengingkari hal ini.
Kerugiannya adalah adanya kecenderungan untuk secara mudah mengidentikkan Allah dan Kristus (dan kehendak-Nya) dengan wajah dan pencapaian-pencapaian politik. “Sukses” kita di bidang politik dapat dianggap sebagai sukses Allah, padahal hal itu terjadi hanya karena adanya kompromi-kompromi politik (dengan pihak-pihak lainnya). Kerugian kedua, Kabar Baik (Injil) dan keselamatan secara gampang direduksi hanya bagi kepentingan orang-orang Kristen belaka. Maka universalitas Injil, yang memberitakan Kabar Baik bagi semua umat manusia, di mana gereja adalah pengembannya, secara mudah dipahami hanya dalam penampilan sebuah partai politik Kristen.
Yang paling tragis adalah, apabila partai politik Kristen itu didesak ke sudut yang tidak signifikan karena dianggap eksklusif dan tidak bermanfaat bagi kehidupan bersama.
Saya sendiri secara serius tidak mendukung pembentukan sebuah partai politik Kristen. Dengan menggabungkan diri pada partai-partai politik yang bersifat umum, akan mendorong orang-orang Kristen untuk terus-menerus berada dalam perenungan dan diskusi mendalam dengan orang-orang lain (non-Kristen) tentang persoalan hidup bersama di dalam masyarakat dan negara.
Sekaligus kita juga ditantang untuk menginterpretasikan Injil di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bersama orang-orang lain itu, di mana kita semua saling diperkaya. Dengan demikian, orang-orang Kristen sepenuhnya berdiri dengan kedua kakinya di dalam dunia (politik) yang konkret.
Pada pihak lain, apabila orang tetap berkeras untuk mendirikan sebuah partai politik Kristen, maka spesifikasi partai itu mesti dirumuskan dengan baik. Mesti sangat jelas apa yang membedakan partai politik Kristen itu dibandingkan dengan partai-partai lainnya dalam seluruh kiprah politiknya. Kalau tidak, keberadaan partai politik Kristen akan menjadi mubazir.

Penulis adalah Ketua Umum PGI.

Copyright © Sinar Harapan 2003

Tidak ada komentar: