19 Juli 2010

Pendidikan Teologi Yang Berwawasan Pedesaan

Pertimbangan awal: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?"

Oleh John Campbell-Nelson

Pada tahun 1982, ketika kami sedang menunggu izin tinggal di Timor, kami ditawari kemungkinan untuk beralih ke STT Jakarta. Saya menjawab, "Tapi di situ sudah ada Dr. Abineno dan banyak doktor teologi yang lain, serta segala fasilitas lengkap. Apakah saya memang dibutuhkan di Jakarta?" Saya heran ketika dijawab, "Justru itu! Di Timor tidak ada apa-apa. Lebih baik anda di sini." Mungkin sikap seperti itu sudah berkurang. Tapi mungkin sebelum kita menggumuli corak pendidikan teologi yang berwawasan pedesaan masih perlu kita lebih dulu memeriksa sikap kita terhadap pedesaan. Arus urbanisasi secara global telah menciptakan semacam prasangka umum bahwa kota itu yang terbaik. Kota sama dengan modern, sedangkan desa sama dengan kolot; kota itu kaya, dan desa miskin; kota menawarkan kesempatan untuk maju, tapi desa hanyalah jalan buntut. Sikap seperti itu telah merasuk sampai ke pelayanan gerejawi. Mutasi pendeta dari desa ke kota seringkali diangggap sebagai kenaikan pangkat, dan jemaat kota kadangkala memahami diri sebagai dermawan terhadap jemaat pedesaan--kalau ada perhatian sama sekali.

Prasangka ini terasa agak aneh kalau ditinjau secara teologis dan dikenakan pada Kepala Gereja kita. Bahwa Tuhan Yesus berasal dari desa yang "udik" biasanya difahami sebagai salah satu tanda kerendahanNya. Dia bukan "orang kota" yang lahir dalam keluarga yang kaya, melainkan "orang kampung" yang lahir dalam keluarga yang sangat sederhana. SolideritasNya dengan orang-orang sederhana dari pedesaan sudah dapat dibaca dari kelahirannya di sebuah kandang hewan, dihadiri oleh sejumlah gembala domba. Asal-usul yang "hina" ini dikontras dengan kemegaan dan kemewahan kota-kota sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan. Rupanya pola pikir bahwa kota lebih baik, lebih canggih, lebih hebat dari desa bukanlah pemikiran yang baru pada zaman ini. Dengan latar belakang pemikiran seperti itu juga Natanael dalam Injil Yohanes merasa heran kalau ada sesuatu yang baik yang datang dari kampung. Namun Yesus adalah orang kampung.

Mungkin perlu dipertanyakan apakah asal-usul Yesus ini sekedar sebuah lambang yang menunjuk pada pengosongan diri Allah, ataukah ada juga makna sosial yang perlu dipetik? Kami tidak bermaksud untuk membalik prasangka bahwa "kota itu baik dan desa jelek" menjadi "kota itu jelek dan desa baik"--mengingat bahwa orang-orang Nazaret sendirilah adalah orang-orang yang pertama-tama ingin membunuh Yesus (Lukas 4). Namun perlu disadari juga bahwa kuasa-kuasa yang diperangi Yesus berpusat di kota-kota kekaisaran Romawi, dan bahwa nilai-nilai komunal yang diajari Yesus bersuasana pedesaan. Dalam kondisi pra-teknologi modern hampir dapat dikatakan bahwa adanya perkotaan hanya dimungkinkan oleh konsentrasi kuasa dan pemerasan kekayaan dari pedesaan--kalau tidak, dari mana datang tenaga murah yang dibutuhkan oleh perekonomian kota? Dari mana mendapat makanan untuk memberi makan sekian banyak orang kota yang tidak bertani? Pada zaman Yesus, kota adalah produk ketidakadilan. Kalau keadaan itu masih berlaku sampai sekarang di kota-kota kita, pembaca boleh merenungkan sendiri.
Dan apakah kelahiran Yesus di kandang Betlehem itu memang sesuatu yang hina? Ribuan bayi lahir setiap tahun di pedalaman NTT dalam keadaan yang tidak terlalu berbeda: tikar dibuka di atas tanah dan ibunya memegang tali yang digantung dari tiang rumah. Hal itu bukan hina, hanya kesederhanaan yang biasa. Mungkin bagi orang yang sederhana seperti Yesus, kelahiranNya bukan hina.

Paling sedikit, perlu dikatakan bahwa tidak ada dasar kristiani untuk meremehkan pedesaan sebagai wadah kehidupan masyarakat manusia. Paling sedikit, kita yang tinggal di kota harus ada kerendahan hati untuk berterima kasih pada pedesaan, sebab kita semua makan dari hasil kerja para petani. Sampai sejauh kita ikut arus yang memegahkan kota, mungkin perlu diwaspadai kalau kita tergoda oleh Mammon yang bertakhta di situ.

Pedesaan Sebagai Konteks Pelayanan
Saya belum lama melayani di lingkungan GMIT ketika seorang rekan mengajukan sebuah pertanyaan yang agak mengganggu pikiran saya: “Di mana liturgi Kristen untuk minta hujan?” katanya. “Agama suku punya ritus untuk setiap kebutuhan pertanian dan peternakan, tapi kita tidak punya. Kenapa?” Dengan gamblang saya menjawab, “Karena tenaga zending yang datang dari Belanda bukan petani.” Tapi sebenarnya masalah ini mempunyai akar yang lebih panjang.

Hampir secara universal, ada dua sumber utama bagi agama suku: siklus hidup manusia dan siklus pertanian; dan ada dua lokus dari konsepsi tentang yang ilahi: arwah nenek moyang dan kuasa-kuasa alam. (Ada kemiripan juga dengan perkembangan iman dari orang-orang Israel: Allah dikenal sebagai Allah dari “Abraham, Isak dan Yakob” sebagai nenek moyang; dan sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta.) Dalam perkembangan historis kalau kota-kota mulai berkembang ditengah-tengah masyarakat agraris, maka aspek-aspek dari siklus pertanian cenderung ditinggalkan karena tidak relevan lagi bagi masyarakat kota, sedangkan yang berkaitan dengan siklus hidup dipertahankan.

Nampaknya gejala ini terdapat juga dalam gereja purba. Kalau Yesus sendiri adalah orang desa, namun sebagian besar orang Kristen dalam gereja purba adalah orang kota, karena di situ iman Kristen paling cepat berkembang. Kenyataan itu berdampak besar terhadap perkembangan iman Kristen selanjutnya, khususnya dalam hal liturgi dan pola pelayanan. Ada banyak ritus kuno serta bentuk pelayanannya yang berkaitan dengan siklus hidup, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian. Hal-hal ini merupakan aspek yang universal dari kehidupan manusia kapan dan di mana saja. Baik orang kota maupun orang desa lahir, menikah, dan meninggal, dan gereja membaptis mereka, memberkati nikahnya, dan mengucap syukur ketika mereka dimakhamkan. Tapi hanya seorang petani bergantung langsung pada curah hujan untuk pertumbuhan tanamannya, dan hanya seorang peternak memerlukan perlindungan, makanan, dan kesehatan bagi hewannya. Agama suku pada zaman Yesus juga memperhatikan kebutuhan-kebutuhan ini. Namun ritus-ritus seperti ini tidak dibutuhkan oleh orang kota, sehingga gereja purba tidak melanjutkan atau mengembangkannya dalam versi Kristen.

Kealpaan dalam pola pelayanan ini dilanjutkan dalam perkembangan gereja kemudian. Hierarkhi gereja berpusat di kota-kota dan tidak begitu merasakan kebutuhan pedesaan. Ketika gereja mulai berkembang di pedesaan Eropa, maka segala upaya para petani untuk memenuhi kebutuhan liturgisnya dicurigai sebagai peninggalan agama suku. Akhirnya dalam bahasa sehari-hari orang kampung disamakan dengan orang khafir (“pagan” yang sekarang berarti khafir dalam bahasa Inggris berasal dari kata pagane, yang berarti “orang dari pedesaan”). Kalaupun ada pengembangan liturgi Kristen di sekitar siklus pertanian, sifatnya lokal saja dan tidak masuk aliran besar dari tradisi Kristen Eropa. Keadaan ini berlangsung terus sampai pada lapangan misi, ketika pengalaman para petani pedesaan Eropa di masa lalu terulang pada para petani pribumi di negara-negara jajahan. Dapat dikatakan bahwa pola pelayanan yang bercorak kota telah secara de fakto dijadikan normatif bagi gereja di pedesaan pula.

Akhir ini telah berkembang suatu kesadaran baru bahwa tidak mungkin satu pola pelayanan dianggap tepat bagi setiap jemaat di mana-mana. Gerakan kontekstualisasi teologi telah membuktikannya dengan sangat meyakinkan, khususnya berhubungan dengan perbedaan konteks dan kebutuhan di antara gereja-gereja “barat” dan “timur”. Sangat tepat dengan prinsip kontekstual itu kalau sekarang kita juga meneliti perbedaan konteks di antara jemaat kota dan jemaat pedesaan. Untuk itu, dalam refleksi ini, kami akan meninjau kekhasan jemaat pedesaan dari segi sosiologis dan teologis, dan kemudian menarik sejumlah kesimpulan tentang implikasinya bagi pendidikan teologia.
Sosiologi Masyarakat Pedesaan

Kalau masyarakat pedesaan dipandang dari luar, agak tepat kalau dikenakan istilah yang dipakai anthropolog Robert Redfield: mereka adalah “masyarakat bagian” --part-societies. Maksudnya bahwa mereka merupakan sub-bagian yang agak di pinggiran dari keseluruhan struktur sosial-ekonomis. Mereka cenderung dikuasai oleh suatu elite yang terletak di kota atau di pusat-pusat pemerintahan dan perdagangan, di mana kebijakan-kebijakan politis dan ekonomis ditentukan dan dikenakan pada mereka. Semua instansi yang terdapat dalam “masyarakat besar” terdapat juga pada mereka sebagai “masyarakat kecil”, tapi dalam bentuk yang sangat sederhana ataupun “inferior”, seperti terdapat dalam tabel berikut:


“Masyarakat besar” x Masyarakat Pedesaan
Pertokoan x Pasar mingguan
Pabrik x Keranjinan tangan
Sekolah Lanjutan, Universitas x Sekolah dasar
Rumah Sakit Puskesmas, x dukun
Apotek x Obat kampung
Hukum negara x Hukum adat
Radio, televisi, surat kabar x Komunikasi lisan
Pusat Pemerintahan x Dewan adat
Pendeta Guru Injil, x penanggung jawab


Tentu daftar ini bisa diperpanjang, tapi maksudnya kiranya cukup jelas. Dari perspektif ini, masyarakat pedesaan jelas ada dalam posisi kurang berdaya dan marginal. Tidak mengherankan kalau siapa saja yang bisa keluar dari keadaan itu mengambil kesempatan.

Namun kalau dilihat dari dalam, perspektifnya sangat berbeda. Dalam perkataan seorang teman dari Timor Tengah Selatan, “Kami di sini kurang apa? Paling-paling kami beli sabun dan minyak tanah. Lain-lain kami hasilkan sendiri, tidak bergantung pada pemerintah untuk bayar gaji atau kasi keluar beras dari gudang. Kami punya gudang sendiri. Dan kalau saya mau kerja, saya kerja. Tidak ada yang suruh. Mau istirahat tidak perlu minta ijin. Kalau mau omong berdikari, kami sudah berdikari sejak nenek moyang.” Rupanya cara hidup ini hanya dikatakan “kurang” kalau diukur dari patokan luar, sedangkan mereka yang adalah bagian dari masyarakat pedesaan mempunyai patokan tersendiri. “Patokan” yang dimaksud sangat bervariasi, dan memang terlalu rumit untuk dirinci di sini, tapi ada beberapa faktor yang agak umum yang dapat kami sebutkan secara singkat. Yang kami ingin perhatikan di sini adalah aspek-aspek umum dari masyarakat tani, bukan saja di NTT--melihat bahwa “petani tradisional” masih merupakan profesi terbesar di dunia.

Dari segi sumber daya, jelas bahwa masyarakat tani bergantung (dependent) langsung pada lingkungan alam sebagai sumber hidupnya. Namun dari segi sosial, petani tradisional sangat mandiri (independent) terhadap manusia yang di luar lingkungannya. Lain dari masyarakat perindustrian yang terhisap dalam suatu jaringan ekonomi dan teknologi produksi dengan tingkat saling bergantung yang sangat tinggi (interdependence).

Satuan produksi secara ekonomis cenderung jatuh sama dengan satuan kekerabatan. Tanah sebagai modal merupakan warisan yang dimiliki bersama; tenaga kerja juga dikelola bersama, dan
warga dari satu kaum kerabat cenderung berdomisili secara berdekatan. Dengan demikian struktur kekerabatan menjadi instansi sosial yang utama.

Sebutan “tradisional” bukan saja kena pada cara bertani, melainkan pada keseluruhan orientasi hidup, yang memandang pada masa lampau dan adat-istiadat dari nenek moyang sebagai sumber segala norma dan hikmat. Terdapat pandangan bahwa masa depan akan sama dengan masa lalu, sehingga segala sesuatu yang perlu diketahui oleh generasi muda dapat dipelajari dari generasi tua, karena mereka telah lebih dulu mengalaminya. Hal-hal yang “baru” dan “dari luar” cenderung dicurigai, sehingga tersusun berbagai strategi sosial untuk membatasi pengaruhnya.

Pengetahuan pribumi (indigenous knowledge) bukan saja menyangkut cara bertani, melainkan tersusun secara terpadu dan menyeluruh menjadi sebuah filsafat/praksis hidup maupun kosmologi yang utuh. Sistem pengetahuan ini telah melandasi kesejahteraan masyarakat tradisional sejak berabad-abad. Dibandingkan dengan sistem tradisional ini, sistem teknologi-perindustrian-perdagangan yang “dominan” dalam masyarakat luas belum teruji dan terbukti kemampuannya untuk memangku kehidupan masyarakat pedesaan.

Dari kedua pandangan tersebut di atas agak sulit menentukan mana yang lebih tepat. Dari satu segi pandangan seperti yang dikemukakan Redfield terasa sangat realistis, dan arus generasi muda ke kota menunjukkan bahwa banyak di antara mereka cenderung setuju dengan Redfield. Dari segi lain, kalau kita ingin memahami masyarakat pedesaan sebagaimana mereka memahami diri mereka sendiri, maka perlu diakui bahwa mereka bukanlah suatu “masyarakat bagian” melainkan suatu “dunia” tersendiri. Paling sedikit, ada ketegangan di antara kedua perspektif ini yang sangat mewarnai dinamika kehidupan masyarakat desa masa kini. Bagi generasi tua, dihadapi dilema: bagaimana mengendalikan proses perobahan sosial tanpa kehilangan identitas yang berdasarkan tradisi. Bagi generasi muda, mereka seolah-olah meletakkan satu kaki di dunia modern dan satu kaki di dunia tradisional, dan sedang bimbang mau berdiri di mana.

Bagi kita juga, sebagai gereja, sebagai teolog-teolog, dan sebagai lembaga pendidikan yang mempersiapkan calon-calon pelayan di pedesaan, perlu dipertanyakan: kita berdiri di mana? Komitmen kita pada pelayanan di pedesaan tidak cukup kalau hanya berdasarkan fakta demografis bahwa banyak jemaat kita terdapat di situ, sedangkan mentalitas kita sendiri menetap dalam pola pandang yang dominan . Kalau itu saja, kita bisa menjadi wakil dari dominasi “masyarakat besar” terhadap masyarakat pedesaan--apalagi sebagai satu-satunya Sarjana yang hadir di pedesaan. Tapi kalau kita mau solider dengan mereka yang kita layani, kita harus masuk (paling sedikit dengan satu khaki) ke dalam pandangan dunia mereka. Untuk itu ada beberapa persyaratan:

Pola hidup yang berlandasan pada sistem teknologi-perindustrian-perdagangan tidak diberi tempat yang istimewa dihadapan pola hidup agraris-tradisional. Malahan pola hidup agraris-tradisional menjadi titik berangkat bagi sebuah penilaian kritis terhadap sistem yang dominan. Paling sedikit, kedua pandangan ini dihadapmukakan dalam sebuah dialog yang sama derajat. Dengan demikian kita sendiri terlibat dalam dialektika yang dihadapi masyarakat pedesaan.

Dalam dialog tersebut akan segera nampak bahwa prakondisi teoritis untuk dialog yang sama derajat pada umumnya belum tersedia. Pandangan dominan didukung oleh seperangkat teori, penelitian, dan filsafat yang dibangun sejak berabad-abad di dunia “Barat”, dan diajarkan pada kita semua sejak SD. Pandangan tradisional hanya terdapat dalam praksis, dalam cerita-cerita rakyat dan tuturan nenek moyang, dan belum direfleksikan secara teoritis. Menjadi tugas kita bersama masyarakat pedesaan untuk mengolah pengetahuan pribumi sampai mencapai tingkat reflektif yang bisa dikomunikasikan dalam dialog dengan pandangan yang dominan. Dengan dimikian, “sosiologi pedesaan” yang dibangun bukanlah memandang dari luar kepada sebuah “sub-sistem”, melainkan mengungkapkan pemahaman diri masyarakat tradisional dalam bahasa dan konsepsionalitas yang mereka sendiri akui.

Peranan sarjana atau ahli teologi dalam proses ini bukanlah sebagai perancang atau yang merekayasa sebuah teori pengetahuan pribumi. Hal itu terlalu cepat menjadi sejenis dominasi baru--seperti antropolog yang berpretensi untuk menjelaskan suatu masyarakat pada dirinya sendiri. Yang diperlukan adalah seorang pendengar yang baik, kawan bicara, dan pada akhirnya, mungkin seorang redaktor dan penterjemah yang dapat menjadi perantara dengan pandangan dominan.
Peranan seperti ini bukanlah sesuatu yang terlalu ideal atau abstrak. Justru ini yang menjadi pekerjaan sehari-hari bagi pendeta pedesaan yang memperjuangkan kepentingan jemaatnya berhadapan dengan petugas-petugas pemerintah--yang pada umumnya mewakili sistem dominasi. Dari segi teologis juga, refleksi bersama jemaat seperti yang diminta di sini merupakan prasyarat bagi teologi pedesaan yang kontekstual. Kontekstualisai mengandalkan sebuah pemahaman tentang konteksnya, dan kalau dasar pemahaman tersebut belum tersedia (seperti disediakan bagi sistem dominan oleh industri pendidikan dan penelitian yang dimilikinya), maka harus diupayakan oleh kita sendiri.

Gereja di pedesaan menjadi titik temu di antara yang modern dan yang tradisional. Dari satu segi Gereja adalah pembawa faktor-faktor baru--terutama iman Kristen sendiri, tapi juga pendidikan dan sebuah sistem organisasi dan administrasi yang non-tradisional. Gereja sering mendatangkan orang dari luar daerah sebagai pendeta, dan menjadi tempat bertemunya penduduk pribumi dengan para pendatang dalam sejenis persekutuan yang sama sekali baru. Dari segi lain, Gereja sering menjadi benteng pertahanan bagi kepemimpinan tradisional yang tergeser dalam bidang-bidang yang lain oleh sistem pemerintahan modern. Majelis jemaat, misalnya, biasanya dikuasai oleh para wakil dari suku-suku pribumi. Dapat dikatakan bahwa jemaat pedesaan adalah satu-satunya instansi sosial yang “modern” yang dipimpin dan dimiliki oleh masyarakat tradisional.
Dalam posisi seperti ini, secara sosiologis saja Gereja adalah instansi yang memainkan peranan kunci dalam dialog dan dialektika di antara yang modern dan yang tradisional. Justru karena itu Gereja sering dibujuk oleh para “pembaharu” dari pemerintah dan LSM-LSM demi mencapai kepentingannya. Terlepas dari fungsi teologisnya (yang kita akan bicarakan pada bagian berikut), Gereja akan menjadi forum dan agen perobahan di pedesaan. Yang menjadi tantangan bagi kita ialah, perobahan yang dikuasai oleh siapa, dan bagi kepentingan siapa? Dan apakah para pendeta pedesaan akan mampu menjadi perantara dalam proses ini yang bijak dan adil?

Implikasi nyata dari pertimbangan-pertimbangan yang di atas bagi pendidikan teologi akan dibicarakan dalam bagian terakhir. Pada bagian berikut, kami mau mengangkat beberapa aspek dari dinamika ini yang memunculkan permasalahan teologis yang khas pada jemaat pedesaan.

Agenda Teologi Pedesaan

Dalam pertemuan di antara konteks pedesaan dan tradisi Kristen sejumlah pokok pergumulan teologis muncul yang pada umumnya kurang mendapat tempat dalam agenda teologi masa kini di pusat-pusat urban. Sebagian dapat dikatakan perbedaan kepentingan, seperti dalam hal petani berdoa minta hujan, sedangkan pegawai minta kiranya hujan ditunda supaya dia jangan basah di perjalanan ke kantor. Namun untuk sebagian besar pedesaan Indonesia perbedaannya lebih dalam dari itu, sebab dalam masyarakat pedesaan di sini kita bertemu dengan orang-orang yang lebih dekat pada asal-usul primordial kita. Saya pakai istilah primordial secara sadar di sini: sebagai orde hidup yang primer dan tertua. Mereka masih ingat dan (kurang lebih) memelihara sebuah pola hidup dan seperangkat ilmu dan pengetahuan yang pra-modern dan pra-zaman perindustrian. Selama ini pengetahuan mereka dianggap kolot dan tak berguna lagi--demikian pandangan “modernisme,” sebuah ideologi yang mengandalkan IPTEK sebagai sumber segala hikmat dan pengetahuan.

Akhir ini telah muncul gerakan “pasca modern” yang mempertanyakan kembali asumsi itu. Disederhanakan, argumentasi mereka sebagai berikut: ilmu pengetahuan gaya modernisme berlandasan metode ilmu pasti, khususnya matematika. Hal ini barulah memadai kalau seluruh realitas dapat difahami sebagai serangkaian sebab-akibat secara mekanistis. Ternyata tidak demikian. Sejarah dan jiwa manusia masih jauh sekali dari penjelasan seperti ini, dan dapat dipertanyakan kalau ada kemajuan sama sekali dalam pemahaman kita tentang diri kita sendiri berdasarkan metode modernisme. Hal ini nampak sekali dalam soal kesenian. Misalnya, apakah puisi Rendra lebih “maju” dari puisi pemazmur? Apakah gedung-gedung bertingkat di Jakarta lebih indah dari Borobudur? Secara teknik bangunan (yang secara mekanistis dapat ditanggulangi oleh metode ilmu pasti) memang ada kemajuan, tapi dari segi makna dan daya kreasi, ternyata tidak mungkin mengatakan yang baru lebih baik dari yang kuno. Hal yang serupa nampak dalam dunia medis. Bermacam-macam obat yang kita pakai untuk malaria, kanker, ataupun sakit kepala saja ditemukan bukan oleh metode IPTEK, melainkan oleh suku-suku pribumi dalam apotek tradisional mereka. Ilmu modern hanya membenarkan kegunaannya dan memungkinkan produksi secara massal. Kesimpulan yang ditarik dari semua ini oleh gerakan paska modern adalah bahwa kita harus terbuka pada banyak cara pengetahuan, dan tidak berprasangka bahwa yang modern/mekanistis yang lebih baik.

Belajar dari perdebatan ini, teologi juga masuk zaman paska modern dan terbuka lagi untuk belajar dari hikmat dan penghayatan masyarakat tradisional. Pada abad yang lalu, seorang ahli biologi dari Jerman mengadakan perjalanan di Rote, dan mencatat sambil lalu bahwa “Jalan-jalan di sini kita dapat menemukan sebagian besar dari Perjanjian Lama” (dalam adat-istiadat orang Rote). Sekarang kesadaran seperti itu mulai dimanfaatkan. Pakar-pakar biblika mulai mempelajari tradisi lisan, ritus-ritus, dan struktur kekerabatan dari suku-suku tradisional untuk memahami berbagai aspek dari dunia Alkitab dengan lebih baik. Berhadapan dengan krisis ekologi, teolog-teolog sistematika mempelajari agama suku mencari wawasan religius yang lebih rama terhadap lingkungan. Dalam bidang etika sosial, kita mencari senjata untuk melawan konsumerisme dalam kesederhanaan petani tradisional; dan untuk merawat kesepian masyarakat kota dan keluarga modern yang berantakan kita cari obat dalam masyarakat komunal.

Yang kami anjurkan di sini sekali lagi bukan semacam nostalgi untuk masa lalu. Kami hanya mau menunjukkan bahwa tantangan pelayanan pedesaan bukan hanya soal bagaimana membantu orang yang terasing dan terkebelakang menjadi maju seperti kita. Justru kita dapat belajar banyak dari mereka. Daripada dipandang sebagai tempat yang gersang dan serba miskin, justru pedesaan adalah lapangan refleksi teologis yang sangat subur. Secara garis besar dan sebagai contoh saja, kami mau mencatat sejumlah pokok yang masuk dalam agenda teologi pedesaan. Banyak di antaranya sudah dihadapi oleh mahasiswa kita dalam masa pendidikan lapangan dan diangkat dalam diskusi di perkuliahan. Untuk kemudahan, kami mengikuti pembagian pokok yang tradisional dalam sistematika, yaitu: Allah Sang Pencipta, Jesus Kristus Sang Penebus, Roh Kudus, dan Gereja.

Allah Sang Pencipta:

Masyarakat yang hidup langsung bergantung pada alam menyadari diri sebagai bagian dari alam semesta. Ia sadar juga akan kekayaan alam semesta, dan bahwa alam bisa ramah atau kejam. Pada umumnya ia yakin bahwa alam itu bukan hanya “terjadi” tapi dijadikan oleh suatu kuasa yang ia harus hadapi dalam setiap aspek kehidupannya. Untuk membuka hutan, memilih bibit, menanam, minta hujan, dan untuk panen ia harus minta ijin, minta berkat, dan mungucap syukur. Dalam banyak hal keagamaannya berkisar pada siklus pertanian. Secara lebih luas, dapat dikatakan bahwa kalau teologi yang dominan banyak menggumuli kedaulatan Allah atas sejarah, maka teologi pedesaan terfokus pada kedaulatan Allah atas alam semesta.

Kenyataan yang sederhana ini mempunyai implikasi yang rumit. Dari satu segi ada kritikan yang perlu dilontarkan kepada perspektif pedesaan ini yang karena begitu terikat pada silkus alam kurang memperhatikan perkembangan historis. Dunia sedang berobah, dan siapa yang tidak turut terlibat dalam proses perobahan itu bisa saja digiling oleh roda sejarah. Dari segi lain, arus perobahan tersebut belum tentu mencerminkan kehendak Allah. Salah satu kelemahan dari orientasi historis dalam teologia adalah bahwa ia terlalu gampang dipakai untuk membenarkan para “pemenang”. Logikanya terlalu sederhana: karena Allah berdaulat atas sejarah, maka siapa yang berhasil memperoleh kuasa otomatis memperolehnya dari tangan Tuhan. Para penjajah di masa lampau memakai pemikiran ini, dan para penindas masa kini adalah ahli warisnya.

Versi yang lain dari dinamika ini terdapat dalam dilema pembangunan. Pembangunan nasional telah menjadi “sapi keramat” yang tidak boleh diganggu gugat. Namun pembangunan yang merusak lingkungan bukanlah pembangunan melainkan jalan menuju kebinasaan. Perspektif historis yang mengandalkan “progres” melalui pembangunan perlu dipertanyakan kembali dari perspektif teologi penciptaan seperti depelihara oleh masyarakat pedesaan, supaya dalam pemahaman iman kita Allah atas sejarah jangan dipertentangkan dengan Allah atas alam semesta. Rumusan dogmatis kita perlu merangkul kedua aspek ini dalam satu pengakuan terhadap Allah Sang Pencipta.

Dalam pandangan kita tentang Allah sebagai Pencipta terdapat juga dinamika desa/kota yang menarik diteliti. Sejak zaman yang disebut “pencerahan”, Sang Pencipta cenderung digambarkan secara mekanistis sebagai Mahatukang yang merancang dunia seperti manusia merancang sebuah mesin. Teologi pedesaan lebih cenderung melihat Allah menurut metafora biologis: Tuan Langit yang kawin dengan Ibu Bumi atau Mahapetani yang menanam bibit dari segala makhluk hidup. Walaupun perspektif ini menjurus pada kultus kesuburan seperti yang ditolak oleh tradisi Alkitab, namun ada juga hal yang patut digumuli. Bagi orang Timor, misalnya, ajaran tentang Allah sebagai Bapak langsung membawa pertanyaan: di mana Ibu? Dalam kategori simbolis orang Timor, dinamika maskulin/feminin memainkan peranan utama, sehingga tidaklah masuk akal kalau ada bapak tanpa ibu; tanpa maskulin dan feminin, tidak ada hidup. Selama Allah dilihat sebagai tukang dan kita sebagai mesin yang dibuatNya, hal ini tidak menjadi masalah, tapi kalau kita mau dianggap anak Allah, maka bukan hanya kebapakan Allah melainkan keibuan Allah perlu diungkapkan. Perspektif ini mengajak kita sebagai teolog untuk membayar sebuah hutang teologis yang sudah berabad-abad dalam tradisi Kristen belum dilunasi--bukan hanya untuk memuaskan para feminis, tapi sebagai konsekwensi logis kalau kita beralih dari metafora mekanistis pada metafora organis tentang Allah Pencipta.

Salah satu masalah teologis yang lain yang belum tuntas terjawab dalam pemberitaan kita menyangkut dengan aspek moral dari kedaulatan Allah. Paling sedikit sejak Max Weber telah dicatat bahwa masyarakat pedesaan cenderung mencari penjelasan moral atas kejadian-kejadian yang menurut pandangan modern bersifat “alamiah”: kalau orang berbuat baik, pasti hujan akan turun, tapi kalau ada kesalahan, Allah pasti akan menutup hujan; kalau berbuat baik, pasti kita sehat, tapi kalau kita membuat pelanggaran, pasti kita sakit. Mengenai hal ini, pemberitaan kita mendua, seringkali secara oportunistis. Kalau menguntungkan sebagai alat kuasa, kita pertalikan segala bencana pada murka Allah dan menyuruh orang bertobat supaya bisa sembuh dari sakit atau dapat hujan. Pada kesempatan lain kita suruh orang berobat ke dokter atau tanam pohon untuk menarik hujan. Dalam keadaan seperti ini, jemaat turut mendua. Mereka ulang-aling di antara dokter dan dukun, dan berdoa minta hujan baik di gereja maupun dengan pemotongan babi di tempat keramat. Sebagai agenda teologia, kita diminta untuk mengupayakan suatu pernyataan yang jelas tentang Providentia dan Anugerah Allah dalam ciptaanNya yang juga memberi tempat pada pengetahuan modern di bidang medis dan ilmu alam.

Yesus Kristus Sang Penebus

Dalam sejarah pekabaran Injil ada dua aspek dari Yesus Kristus yang selalu diberitakan: Yesus sebagai Anak Allah yang turun ke bumi, dan Yesus sebagai korban yang sempurna atas dosa kita. Dua-dua membawa permasalahan yang khas dalam konteks masyarakat tradisional, khususnya di NTT.

Dalam masyarakat feodal, soal Anak Allah bukan hal yang baru. Dikenal dulu di Eropa dan kemudian dimodifikasi menjadi hak ilahi yang diberikan pada sang raja untuk memerintah. Di Timor juga raja dikenal sebagai neno anan, anak langit, dan nama ini kemudian dikenakan pada Yesus Kristus. Sebagai hermeneutika misiologis mungkin strategi ini ada baiknya, tapi akhibatnya jangka panjang ialah bahwa Yesus yang diberitakan dalam Injil justru sulit difahami. Mana ada raja yang merendahkan diri sebagai hamba, yang mencuci kaki pengikutnya--apalagi yang rela mati? Yesus membalik semuanya. Memang kalau mau dikatakan bahwa Yesus tidak cocok dengan kategori budaya Timor bagi raja, sebenarnya Yesus tidak “klop” dengan kategori budaya manapun, entah di Eropa, Amerika atau di Indonesia. Tidak ada patokan untuk mengukur Yesus karena Yesus sendiri adalah patokannya.

Mungkin dapat dikatakan bahwa tantangan bagi pemberitaan Yesus Kristus di NTT sekarang bukan lagi untuk mencari “pintu masuknya” ke dalam kebudayaan setempat, tapi bagimana Yesus yang sudah masuk ini dapat mentransformasikan hierarkhi feodal yang masih dominan? Mungkin untuk itu perhatian pada Yesus yang historis, yang memihak pada kaum miskin harus diutamakan atau paling sedikit menjiwai pemberitaan kita yang selama ini terlalu triumfalistis menekankan Kristus yang terbangkit.

Hal ini mengantar kita pada masalah yang kedua. Aspek yang dominan dalam pemberitaan kita tentang Yesus yang historis adalah kematiannya di kayu salib. Bahwa Yesus mati sebagai korban penebusan dosa manusia memang mendapat tempat yang kuat dalam keagamaan populer di mana-mana. Dan Yesus sebagai korban cukup bersambung dengan prafaham masyarakat tradisional tentang praktek korban hewan untuk meluruskan segala hubungan dengan para dewa. Kalau di kalangan Yehudi Yesus disebut “Anak Domba Allah”, mungkin di NTT Ia menjadi “Anak Babi Allah”. Namun sambungan ini membawa masalah tersendiri. Sistem korban berlandasan suatu asumsi tentang Allah/dewa bahwa Ia memang menuntut korban dari manusia baru Ia puas.

Tapi apakah Allah yang haus darah seperti ini cocok dengan gambaran tentang Allah seperti ditunjukkan oleh Yesus: Allah yang Yesus kenal sebagai Bapak yang mahakasih? Atau apakah memang Allah yang menuntut korban atau justru manusia? Bukankah Kekaisaran Roma dan para pemuka agama yang menuntut korban dari Yesus untuk mengamankan kuasa mereka? Apakah bukan para penguasa sepanjang sejarah yang menuntut korban dari rakyat sebagai alat dan bukti kuasa mereka? Apakah Allah seperti mereka juga, malah lebih kejam sampai Ia minta darah dari anakNya sendiri? Sebenarnya ideologi korban seperti ini kalau diberitakan di masyarakat tradisional tidak merobah apa-apa dari perspektif dasar agama suku. Hewan hanya diganti dengan Yesus (tentu hal yang lebih hemat bagi masyarakat tani), tapi konsepsi tentang Allah tetap sama. Dan konsekwensi politis adalah bahwa dianggap wajar kalau rakyat juga dijadikan “korban pembangunan” oleh para penguasa.

Kalau analisis seperti di atas ini ada benarnya, maka perlu diupayakan suatu Kristologi baru yang lebih berpedoman pada Yesus sendiri, dan pada Allah seperti yang Yesus memperkenalkan kepada kita. Hal ini menjadi tantangan teologis yang sangat urgen di tengah-tenah masyarakat pedesaan yang masih ditindas oleh ideologi korban.

Salah satu calon yang pernah dikemukakan adalah perspektif Gustaf Aulen dalam bukunya Christus Victor, yang menekankan Yesus sebagai pemenang atas kuasa-kuasa kejahatan, baik yang adikodrati maupun yang di bumi manusia. Aulen menggambarkan mujizat-mujizat dan pengusiran setan-setan oleh Yesus dalam kesinambungan dengan kematian dan kebangkitanNya, sebagai langkah-langkah dalam sebuah perang melawan kuasa-kuasa kejahatan. Perspektif ini memang ada dalam gereja purba, namun kemudian dipadamkan karena kristologi korban lebih menguntungkan hierarkhi gereja. Mungkin pendekatan Aulen ini dapat menyumbang pada suatu upaya untuk menemukan sebuah kristologi yang dapat bicara pada konteks masyarakat tradisional dan sekaligus setia pada tradisi Kristen.

Roh Kudus

Dunia pra modern didiami oleh banyak roh. Di pohon, di batu, di mata air ada roh. Roh-roh jahat dapat membawa bermacam-macam penyakit dan malapetaka. Arwah nenek moyang juga berkunjung sama seperti kaum kerabat yang lain--kadang-kadang ramah, kadang-kadang jahat. Hanya sampai pada zaman modern, roh-roh nampaknya musnah seperti dinosaurus. Dalam pandangan dunia yang dikuasai ilmu modern, tidak ada tempat lagi bagi mereka, kecuali dalam bentuk dongeng, cerita-cerita hantu, dan sebagainya dalam budaya populer. Tinggal Roh Kudus yang masih berkeliaran di kalangan gereja.

Sebagian besar dari masyarakat kota masih melayang-layang di antara kedua pandangan ini. Mereka tidak percaya adanya setan-setan, tapi masih takut kegelapan. Apa yang disangkal oleh akal budi masih hidup dalam hati. Namun bagi masyarakat pedesaan pada umumnya dunia roh merupakan kenyataan, sebuah “fakta” yang bukan soal percaya atau tidak. Dan bagi mereka sebuah teologi tentang Roh Kudus harus mengambil tempat ditengah-tengah keyakinan akan dunia roh itu.

Sebenarnya adanya atau tidak roh-roh lain selain Roh Kudus bukan pasal pengakuan iman yang mempunyai status teologis yang penting. Bahwa masyarakat pada zaman Yesus memiliki pandangan dunia yang meyakini adanya berbagai macam roh halus bukan hal yang sentral dalam ajaran atau tradisi Kristen. Pengakuan Iman Rasuli menegaskan “Aku percaya pada Roh Kudus”, dan tidak disambung dengan “...dan roh-roh yang lain.” Dalam hal ini jelaslah bahwa teologi Kristen melintasi pandangan-pandangan dunia tertentu. Tidak ada perbedaan mutu iman di antara manusia modern dan manusia kuno, manusia yang rasionalistis dalam pola pikir atau yang mitis. Yang berbeda adalah cara mengungkapkan iman itu, dan permasalahan yang muncul dalam interaksi di antara pandangan tertentu dan Injil Yesus Kristus.

Bagi kita yang berteologi dalam konteks masyarakat tradisional, mau tidak mau ada beberapa pokok yang perlu dihadapi berhubungan dengan Roh Kudus dan roh-roh “yang lain”. Mungkin kita harus lebih melatih diri untuk mengikuti nasehat surat Yohanes supaya “ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah.” Sebab, kalau masyarakat sekuler cenderung terlalu skeptis, justru masyarakat pedesaan cenderung terlalu gampang percaya. Sejarah kebangkitan rohani di Timor menunjukkan betapa lugu, betapa cepat orang ditipu kalau penipuan itu memakai nama Roh Kudus.

Mungkin hal-hal yang perlu dijernihkan termasuk antara lain:

Bagaimana kehadiran roh-roh jahat disesuaikan dengan kedaulatan Allah, supaya jemaat (dan kita) tidak terjerumus dalam dualisme? Kepercayaan akan dunia roh cenderung membuat jemaat memandang Roh Kudus sebagai salah satu roh di antara roh-roh yang lain, dan secara terpisah juga dari Allah sebagai Pencipta dan Yesus Kristus. Mungkin pemahaman Allah Tritunggal perlu diangkat secara khusus dalam konteks ini supaya menjadi jelas bahwa Roh Kudus adalah Roh Pencipta adalah Roh Yesus Kristus.

Bagaimana tempat-tempat keramat? Apakah perlu dibongkar? Dalam pandangan agama suku kesucian alam ditandai oleh kehadiran roh-roh setempat, dan kalau sekarang tempat-tempat itu “disekulerkan” apakah kita tidak kehilangan suatu wawasan teologis yang penting dari segi pemeliharaan Allah terhadap dunia ciptaanNya? Ataukah roh-roh setempat dibaptis menjadi tanda kehadiran Roh Kudus di tengah alam semesta?
Bagaimana status dari arwah orang mati? Dulu ada orang tua yang tidak mau masuk Kristen karena mereka takut akan terpisah dari nenek moyang. Mereka lebih suka di “neraka” asal bersama-sama. Apakah iman Kristen memang harus menghancurkan solideritas antar generasi ataukah ada kabar baik di sini juga?

Daftar ini bisa diperpanjang, tapi cukuplah sebagai contoh dari tugas teologi yang masih ada di depan kita. Dalam perpustakaan teologi saya hampir tidak ada buku yang membicarakan soal-soal ini, namun semuanya merupakan masalah yang aktual di jemaat pedesaan.

Gereja

Kalau pokok-pokok pikiran di atas diangkat secara acak dari pengalaman di lapangan, maka dalam bagian ini kami akan berbuat lain sedikit. Kami mau angkat beberapa pokok dari Haluan Kebijaksanaan Umum Pelayanan GMIT 1991-1995, sebab di sini terdapat secara terang permasalahan jemaat pedesaan sebagaimana dihayati oleh Sinode GMIT. Pokok-pokok ini diatur menurut bidang pelayanan:

Koinonia

Pada umumnya, solideritas sosial di antara warga GMIT masih cukup tinggi dalam jemaat-jemaat pedesaan. Ikatan suku dan marga masih sangat berperan baik dalam struktur masyarakat maupun dalam tubuh gereja, sehingga persekutuan sosial agak sulit dibedakan dengan persekutuan gerejawi. Tema periode yang lalu tentang gereja sebagai "Keluarga Allah" justru mengambil hati jemaat karena cocok dengan pengalaman mereka bahwa keluarga adalah institusi sosial yang paling kuat dalam kehidupan masyarakat NTT. Hal ini menjadi titik kuat dan sekaligus tantangan bagi GMIT. Bagaimana Keluarga Allah dapat dibedakan dengan keluarga kita? Bagaimana Injil bisa mentransformasikan masyarakat kalau ia telah melebur dalam kebudayaan setempat?

Pola hidup berjemaat harus menjangkau seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat -- bukan saja secara rohani, tapi juga secara sosial, ekonomis, dan politis; bukan saja dalam ruangan kebaktian, tapi juga dalam kebun, kantor, dan rumah tangga. Dari sisi lain, ikatan dalam Keluarga Allah perlu diperluas melampaui batas jemaat lokal. Perlu dikembangkan jaringan relasi di antara mata jemaat dalam satu wilayah, antara wilayah dengan wilayah dalam satu klasis, dan klasis dengan klasis dalam satu sinode.

Sistem komunikasi dalam jemaat juga perlu dipelajari dan dikembangkan dalam setiap aspek. Jemaat hidup dalam suasana komunikasi lisan secara tatap muka. Jenis komunikasi ini adalah komunikasi yang primer bagi keseluruhan jaringan komunikasi GMIT, dan kalau ia tersendat, maka seluruh jaringan komunikasi tidak akan mengalir seperti semestinya.

Marturia

Dari perspektif jemaat sebagai basis pelayanan, jelaslah bahwa jemaat juga adalah basis pemberitaan Firman Tuhan, pekabaran injil, dan pengajaran. Lebih konkrit, dapat dikatakan bahwa secara kwantitatif sebagian besar marturia dalam tubuh GMIT dilaksanakan oleh kaum awam. Para penatua dan penanggung jawab di jemaat pedesaan membawa kurang lebih 80% dari pemberitaan Firman dalam kebaktian umum dan kebaktian rumah tangga. Yang paling giat dalam pekabaran injil adalah kelompok-kelompok doa, dan yang memikul tugas pengajaran dalam katekisasi dan KA/KR adalah penatua dan pemuda.
Jemaat juga dapat dikatakan sebagai basis berteologi, dari dua segi: konteks dan sasaran dari refleksi theologis yang dikembangkan di tingkat sinodal dan dalam kurikulum Fakultas Theologia banyak terarah pada jemaat pedesaan dan permasalahannya. Namun sebelum kedua instansi ini berbicara, ternyata bahwa jemaat sendiri telah berteologi lebih dahulu. Merekalah yang pertama untuk menggumuli makna theologis dari aspek-aspek kehidupan yang paling kontekstual: Apa makna theologis dari praktek mesel kubur? Mengapa Tuhan tidak menurunkan hujan pada waktunya? Mengapa anak kecil harus sakit dan mati? Apakah orang Kristen boleh ikut main judi? Entah mereka berteologi dengan kacau-balau atau secara bertanggung jawab, tetap terang bahwa teologi yang hidup dan mengarahkan perkembangan iman dalam tubuh GMIT adalah teologi yang berakar dalam pemahaman dan pengalaman jemaat.


Liturgia

Walaupun sering dikeluhkan, namun masih dapat dikatakan bahwa kesadaran berbakti dari warga GMIT untuk sementara masih cukup tinggi. Hanya perlu dicatat bahwa kesadaran itu tidak selalu jatuh sama dengan apa yang dianggap penting oleh gereja. Bisa saja jemaat tidak merasa rugi kalau tidak hadir di kebaktian umum atau ibadat rumah tangga/kumpulan kampung. Tapi mereka tidak akan rasa sejahtera kalau belum diadakan pengucapan syukur untuk rumah baru, atau kalau anak belum dibaptis, atau kandang atau kebun baru belum didoakan. Seperti dicatat diatas, kesadaran liturgis dalam jemaat pedesaan paling melekat pada siklus hidup dan siklus pertanian dan peternakan.

Selama ini gereja cenderung mencurigai ritus-ritus seperti ini sebagai peninggalan agama suku, dan memang ada kebenaran dalam sikap ini. Tetapi dari segi lain, pelayanan gereja dalam bidang liturgia justru untuk mempersembahkan keseluruhan hidup manusia kepada Tuhan, dan kalau liturgia gereja belum menjangkau aspek-aspek kehidupan yang paling penting bagi jemaat, maka tugas panggilannya belum digenapi.

Diakonia

Perihal bantu membantu sebagai suatu perwujudan rasa kesetiakawanan antara seorang terhadap yang lain dalam kehidupan warga GMIT merupakan sesuatu yang lazim. Dalam kehidupan bersama hal memberi dan menerima kembali dipandang sebagai suatu kewajiban kultural. Kewajiban kultural dimaksud semakin kentara terutama dalam suatu persekutuan keluarga baik karena ikatan suku maupun marga. Jadi saling membantu merupakan suatu ciri kehidupan kekeluargaan.

Namun jemaat-jemaat GMIT melaksanakan diakonia tidak hanya sebagai suatu kewajiban kultural tetapi sebagi suatu kewajiban iman. Bahwa Yesus Kristus sebagai sasaran iman telah mengorbankan hidupnya demi keselamatan manusia, lalu beriman kepada Kristus yang demikian melahirkan misi pelayanan diakonia kepada sesama sebagai tanda keselamatan itu.

Dengan demikian diakonia memperoleh tempatnya sendiri baik secara imaniah maupun kultural. Bahwa diakonia merupakan suatu ciri yang tak dapat diabaikan dalam suatu persekutuan keluarga, termasuk dan terutama dalam Keluarga Allah.... Kebudayaan saling membantu/memberi atau gotong-royong perlu dikembangkan dan diberi landasan Alkitabiah sehingga dengan demikian Injil dapat memainkan peranan transformatif dalam masyarakat.... Upaya tersebut akan berjalan dengan baik apabila jemaat benar-benar menjadi "basis diakonia". Jemaatlah yang sehari-hari berada ditengah-tengah orang sakit, lapar, miskin dan tertindas, dan menyatu dengan mereka, baik secara sosial-budaya maupun secara iman.

Oikonomia

Di luar struktur pelayanan formal, seluruh warga GMIT juga menjalankan tugas penatalayanan ini paling sedikit dalam dua bentuk utama. Yang pertama adalah pengelolaan ekonomi rumah tangga sebagai alat penunjang pelayanan, baik demi kesejahteraan keluarganya sendiri maupun sebagai persembahan demi pelayanan gereja. Meskipun sering terdengar keluhan tentang jemaat yang "tidak ada kesadaran memberi", secara jujur perlu dikatakan bahwa jemaat-jemaat GMIT sebenarnya cukup mandiri dalam hal dana dan daya. Persoalannya bahwa kemandirian ini masih pada taraf "subsistensi" (hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari). Penatalayanan jemaat masih perlu ditingkatkan kalau jemaat-jemaat akan berkembang menjadi jemaat-jemaat yang missioner.
Aspek oikonomia yang kedua menyangkut dengan lingkungan hidup: tugas penatalayanan di sini adalah untuk menjaga keseimbangan di antara pemanfaatan sumber daya alam demi kesejahteraan manusia, dengan kelestarian lingkungan alam sebagai "kebun Allah". Tugas ini paling nampak dalam bidang pertanian, di mana para petani diajak meninggalkan pola tebas-bakar yang telah mengganggu keseimbangan alam.... Mereka yang paling dekat pada lingkungan alam dan yang paling bergantung kepadanya patutlah dipersiapkan dan dipercayakan untuk mengemban tugas gereja sebagai pelindung alam, yaitu petani-petani GMIT di jemaat-jemaat pedesaan....

Mendaftarkan sekian banyak tugas pelayanan dan tugas teologis, mungkin kita sudah rasa capai memikirkannya saja, apalagi kalau mau dilaksanakan. Tapi mungkin juga kita terhibur dengan kesadaran bahwa ini merupakan panggilan bersama pada segenap Gereja Tuhan, baik sekolah maupun jemaat, baik pendeta maupun awam. Kita tidak kerja sendiri-sendiri. Paling sedikit, saya harap bahwa dari catatan-catatan di atas sudah mulai nampak bahwa pedesaan merupakan sebuah konteks berteologia tersendiri yang sangat kaya. Tinggal kita mencatat dalam bagian terakhir beberapa implikasi bagi pendidikan teologi.

Pendidikan Teologi yang Berwawasan Pedesaan

Memulai sebuah diskusi tentang pendidikan teologi bagi pelayanan di pedesaan saya tergoda untuk mengajukan sebuah usulan yang sangat kolot: supaya kita kembali pada sistem magang. Beberapa calon pelayan ditempatkan dengan seorang pendeta pedesaan yang terandal, dan mereka bekerja dan belajar dengan beliau sampai dianggap sudah matang. Para dosen berperan sebagai “peripatetik” yang keliling menjalankan studi bersama mahasiswa dan jemaat di tempat masing-masing. Untuk menjamin mutu persiapan yang merata, bisa diadakan sebuah ujian komprehensif oleh fihak Sinode baru ditahbis. Sistem ini dipakai pada masa awal gereja reformasi dan sampai pertengahan abad yang lalu di Amerika, dan hasilnya cukup memadai.

Tapi ini hanya mimpi belaka. Jelaslah bahwa Kopertis tidak akan setuju, ataupun Persetia, ataupun para dosen dan mahasiswa sendiri. Kalau begitu, lebih baik kita mencari alternatif yang realistis. Ada beberapa patokan yang kita bisa petik dari diskusi kita di atas yang masih ada peluang untuk terwujud dalam konteks pendidikan di Universitas. Saya mendaftarkan empat:

Pendidikan teologi jangan mengasingkan mahasiswa dari pedesaan. Dari segi itu, lokasi lembaga-lembaga pendidikan (paling sedikit mulai dari SMA) di sekitar kota kurang menguntungkan. Perlu ada proses sosialisasi atau resosialisasi sampai mahasiswa merasa “at home” di pedesaan dan solider dengan masyarakat desa. Hal ini menjadi beban utama dari pendidikan lapangan, dan menuntut sebuah program studi kerja lapangan yang terintegrasi dengan kurikulum mulai dari tahun pertama. Dalam program Fakultas Theologia UKAW yang sementara berlaku ada masa studi lapangan setelah Semester 4 dan 6 selama enam minggu, dan kemudian seluruh Semester 8 di Kampus Desa, sekitar 150 km dari Kupang di pedalaman Timor. Mungkin juga perlu dipikirkan kemampuan bahasa daerah sebagai salah satu persyaratan disamping bahasa Inggris dan bahasa-bahasa Alkitab.

Penelitian dan analisis sosial di konteks pedesaan perlu menjadi disiplin pembantu yang diutamakan dalam kurikulum. Untuk memimpin jemaat di tengah pergulatan tradisi dan modernisasi pendeta pedesaan perlu dibantu oleh wawasan-wawasan yang dipetik dari antropologi budaya, ekonomi agraris, dan sosiologi pedesaan. Dan karena studi-studi sosial tentang konteks jemaat pedesaan masih sangat langkah, maka kita sendiri yang harus melakukannya. Banyak mahasiswa mengambil kesempatan skripsi untuk melatih diri dalam penelitian seperti ini, dan sudah mulai berkembang sebuah literatur studi daerah dari hasil karya mereka. Literatur ini kembali menjadi bahan bacaan baik di perkuliahan maupun di lapangan.

Kalau ada kekurangan studi daerah untuk menunjang pelayanan, maka hal yang serupa nampak dalam bidang teologi sendiri. Sebagian besar literatur teologi tidak langsung menyentuh keadaan jemaat tradisional di pedesaan. Daripada belajar dogmatika secara umum baru memikirkan aplikasinya dari belakang, sedapat mungkin mahasiswa berangkat dari problematika lokal baru mencari sumber daya layan dalam tradisi Kristen yang luas. Dalam bidang praktika juga, kita berangkat dari tuntutan operasional pada seorang pendeta pedesaan, baru memikirkan apa yang diperlukan dari pendidikan teologi untuk melengkapinya. Singkatnya, kurikulum diatur bukan oleh ensiklopedi theologia (yang lebih banyak mencerminkan kepentingan dosen), tapi secara induktif dan operasional berdasarkan konteks pelayanan yang dihadapi. Hal ini mengasumsikan suatu hubungan yang sangat erat di antara sekolah dan jemaat-jemaat.

Salah satu hal yang sering diminta oleh mahasiswa setelah kembali dari lapangan adalah studi keterampilan, khususnya dalam pertanian, peternakan dan kesehatan. Ternyata jemaat pedesaan tidak menghiraukan pembidangan studi dalam sebuah universitas; mereka mengharapkan segala macam pengetahuan dari seorang sarjana. Walaupun tidak mungkin mahasiswa menjadi ahli dalam setiap bidang, paling sedikit mereka bisa memperoleh pemahaman dasar dan (mungkin lebih penting) berkenalan dengan sumber daya dan sumber keahlian yang tersedia dalam lingkungannya, misalnya dari LSM-LSM, universitas, dan pemerintah. Selain itu, pendeta pedesaan banyak berhubungan dengan instansi-instansi pemerintah di tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten. Menyadari itu, mahasiswa minta studi tentang struktur dan cara kerja pemerintah, supaya mereka nanti lebih efektif dalam peran advokasi dan kerja sama.

Patokan-patokan ini sudah sedikit banyak mewarnai cita-cita pendidikan di Fakultas Theologia UKAW, walaupun dapat dikatakan belum banyak yang terwujud. Sebab hal-hal yang begitu dasariah tidak mungkin diterapkan hanya dengan merobah sejumlah mata kuliah. Ia merupakan suatu proses transformasi dan pertobatan yang hampir menuntut supaya kita mengalami “kelahiran baru.” Mungkin kami baru pada tahap hamil tua. Sebagai tanda kehidupan baru itu, saya menutup refleksi ini dengan mengangkat salah satu eksperimen pendidikan yang baru dimulai, yaitu yang disebut “Kampus Desa”.

Pada bulan Oktober 1993 telah diselenggarakan sebuah Seminar Eklesiologi GMIT yang melibatkan unsur-unsur staf Sinode, Fakultas Theologia, dan pengamat-pengamat gereja yang lain. Termasuk dalam diskusi seminar adalah permasalahan persiapan calon-calon pelayan dan proses pendidikan teologi yang tepat bagi kebutuhan GMIT pada masa mendatang. Salah satu kesimpulan dari diskusi tersebut adalah bahwa para calon pelayan dan pendeta muda semakin berorientasi perkotaan, sedangkan sebagian besar jemaat GMIT pada masa mendatang tetaplah di pedesaan. Bagaimana mengatasi proses sosialisasi urban yang terjadi akibat konsentrasi semua fasilitas pendidikan di lingkungan kota? Bagaimana mengasuh suatu solidaritas dengan masyarakat desa dalam para calon pelayan kalau justru proses pendidikan teologi mengasingkan mereka dari desa? Dan bagaimana sekolah teologi dapat menjamin suatu teologi yang kontekstual kalau jauh dari konteks pelayanan nyata?

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan seperti ini, maka muncul gagasan untuk meningkatkan masa pendidikan lapangan dan memperdalam bobotnya dengan cara menyelenggarakan perkuliahan di pedesaan selama paling sedikit satu semester. Untuk itu dibuka semacam "kampus pedesaan" di mana mahasiswa teologi dapat hidup, belajar dan berpraktek di tengah-tengah jemaat pedesaan. Lokasinya di Loli, sebuah desa di pedalaman Timor. Di situ dengan tenaga sukarela dari jemaat-jemaat di Timor Tengah Selatan dibangun sebuah aula, dapur, perpustakaan yang sederhana, dan sejumlah asrama, semuanya dengan gaya arsitektur lokal. Adapun tanah pertanian dan persawahan yang dapat dimanfaatkan serta beberapa hektare hutan asli yang menjadi sumber madu.

Mahasiswa berkumpul di Loli selama satu semester (Semester 8), dan membagi waktu setiap minggu di antara studi formal di kampus dan praktek pelayanan di jemaat-jemaat sekitarnya. Pergumulan yang ditemukan di jemaat dibawa langsung ke dalam perkuliahan, dan sebaliknya pelajaran di perkuliahan langsung dipraktekkan di lapangan, sehingga pendidikan berjalan dalam suasana sebuah dialog yang kontinyu dengan konteks pelayanan. Misalnya dalam hal pernikahan: makna teologis dan liturgi pemberkatan nikah, konseling perkawinan dan keluarga, dipelajari bersama dengan struktur kekerabatan dan adat perkawinan dalam masyarakat setempat. Perkunjungan rumah tanga dan pesta nikah menjadi kesempatan penelitian dan sekaligus menyediakan bahan refleksi di perkuliahan. Sedapat mungkin bahan perkuliahan disajikan secara sinoptis dan lintas disiplin.

Dengan demikian pola aksi-refleksi mulai diterapkan: setiap hari Kamis sebelum ke jemaat ada kesempatan untuk persiapan bersama-sama, dan pada hari Senin ada refleksi tentang apa yang dialami. Selama satu semester, mahasiswa semakin mampu merencanakan pelayanan berdasarkan kebutuhan jemaat yang ril, dan sebagaimana diharapkan, mahasiswa mulai memesan jenis pelajaran dan bimbingan mana yang mereka butuhkan dari dosen.

Eksperimen ini baru sekali berjalan, dan belum dapat dikatakan berhasil. Ada banyak faktor penghambat: fasilitas yang belum memadai, kekurangan tenaga dosen untuk mendampingi keseluruhan proses, kerinduan mahasiswa akan suasana universitas, dan kesulitan baik mahasiswa maupun dosen untuk melepaskan diri dari pengkotakan mata kuliah untuk belajar secara lintas disiplin. Namun pada akhirnya semua setuju supaya eksperimen ini diteruskan. Mungkin pengalaman dari Loli akan membawa manfaat bagi proses belajar mengajar di lingkungan Universitas juga.


"Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?" Kita telah mulai dengan pertanyaan itu. Bisa dipertanyakan juga, Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Loli? Dari Kabir? Dari Raijua? Mudah-mudahan dalam refleksi yang sederhana ini sudah jelas jawabannya. Di mana ada manusia, di situ Allah bekerja dalam suatu proses kreasi yang tidak pernah berakhir. Tinggal kita membuka diri untuk menyambutnya. Memang Allah bekerja di kota juga, dan mungkin sudah waktunya untuk kita memikirkan “pendidikan teologi yang berwawasan perkotaan.” Tapi itu pada lain kesempatan.

Pdt. John Campbell-Nelson, Ph.D. melayani Gereja Masehi Injili di Timor; anggota pengurus Oase.
---

Tidak ada komentar: