19 Juli 2010

Teologi Wiki: Tantangan Lokal dan Global Untuk Pendidikan Teologi yang Terbuka

Pdt. John Campbell-Nelson


Belum lama ini kami mendengar sebuah ceramah dari seorang pejabat Propinsi NTT yang mengeluh tentang tantangan yang dihadapi pemerintah “dalam dunia yang semakin mengglobal”. Beliau menghitung setan-setan moderen yang mungkin anda juga sudah hafalkan: konsumerisme, materialisme, seks bebas, HIV/AIDS, flu burung, DVD porno, narkoba, teroris, dsb. Semuanya menyerang dari dunia luar dan mengancam masa depan generasi muda. Terhadapnya masyarakat perlu memelihara budi pekerti, nilai-nilai leluhur, adat ketimuran dan kearifan lokal. Yang membuat saya tersenyum adalah cara penyampaian ceramah itu: dengan Powerpoint dan In-Focus.

Ratapan-ratapan yang demikian tidak luput dari sedikit nuansa ironis, kalau bukan munafik. Pejabat yang sama senang mengambil setiap kesempatan untuk “studi banding” di luar negeri dan pulang membawa oleh-oleh. Kalau kita mau berbicara tentang tantangan-tantangan lokal dan global tanpa menjadi ironis atau munafik, ada baiknya terlebih dulu kita menjernihkan kedua konsep ini, terutama dalam keterkaitannya satu dengan yang lain.

Lokal/Global

Pertama, perlu disadari bahwa “globalisasi”, walaupun terhitung sebagai istilah yang baru, bukanlah peristiwa yang baru. Banyak produk yang sudah terasa “lokal” sekarang sebenarnya merupakan hasil gelombang globalisasi pada masa lalu. Jagung, papaya, tomat, tembakau, kentang, coklat dan kopi, misalnya, adalah tanaman-tanaman impor yang tidak asli pada Indonesia. Bahasa Indonesia sendiri menandai asal-usul dari berbagai barang sehari-hari: mantega dan sepatu dari Portugis, onderdil dan persnelling dari Belanda, televisi dan komputer dari Inggris. Indonesia sendiri, baik namanya maupun wilayah kedaulatannya, merupakan hasil globalisasi (dalam wujud penjajahan dan perlawanan terhadapnya). Dengan variasi yang sangat beraneka ragam, kehidupan sehari-hari di hampir setiap negara diwarnai oleh sebuah proses pencabutan dari lokasi “asli”, kemudian mengalami proses “globalisasi” melalui penjajah atau pedagang , dan pada akhirnya dilokalisasi kembali di tempat baru. Eropa pun demikian: spaghetti yang “asli-asli” Italia pertama-tama dibawa ke sana dari Tionghoa oleh Marco Polo.

Kedua, sejumlah “ancaman baru” yang konon merupakan akibat globalisasi sebenarnya adalah versi termutakhir dari masalah-masalah yang telah lama ada. Sebut saja narkoba: walaupun shabu-shabu dan ekstasi adalah produk kimia moderen, namun ganja dan candu telah dikonsumsi berabad-abad di berbagai daerah Indonesia. Sampai-sampai ijin mengedarkan candu pernah dimanfaatkan Belanda sebagai sumber PAD di Jawa. Demikian juga seks komersial, penyakit menular seks dan pornografi. Hampir setiap budaya yang memiliki tradisi seni gambar telah memanfaatkannya untuk menggambarkan ketelanjangan manusia (biasanya perempuan) dan beraneka ragam tindakan seks secara merangsang. Yang baru sekarang bukanlah isi pornografi, tapi teknologi produksi dan distribusinya. Karena media pornografi moderen sangat murah, porno boleh dimiliki oleh siapa saja, sedangkan pornografi kuno cenderung menjadi barang lux untuk kaum elit saja. Rupanya dosa pun semakin demokratis.

Ketiga, “lokal” bukanlah suatu pilihan alternatif yang berlawanan dengan “global”. Global/lokal merupakan sebuah pasangan dialektis dan korelatif, seperti moderen/tradisional. Sebelum “moderen” hadir sebagai sebuah konsep, belum juga ada konsep “tradisional” sebagai lawannya (Giddens 1992: 37). Yang ada adalah apa yang ada, dari dulu ada, dan besok akan tetap ada. Yang ada adalah realitas yang tidak perlu disebut dengan nama khusus. Kemudian konsep moderen hadir dengan menawarkan sebuah konsep alternatif: bahwa masa sekarang lain dari masa lalu, dan masa depan akan lain lagi. Berhadapan dengan alternatif, maka apa-yang-ada menjadi alternatif juga, dan lahirlah konsep “tradisi.”

Kalau pasangan moderen/tradisional menghadirkan alternatif berhubungan dengan waktu, maka global/lokal melahirkan alternatif berhubungan dengan ruang. Sebelum konsep “global” hadir, kawasan lokal yang dikenal oleh masing-masing suku pribumi merupakan “dunia”-nya. Di luar kawasan itu adalah sebuah misteri. Sebuah contoh dari pulau Timor bisa menerangkannya.

Suku dominan di Timor Barat yang disebut sehari-hari sebagai “orang Timor” menamakan diri atoin meto dan pulau Timor sebagai ¬pah meto. Atoni = manusia, pah = tanah dan meto = kering. Mereka memahami diri sebagai manusia dari tanah kering. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa mereka tidak memakai nama yang membedakan mereka dari suku yang lain, dan tidak memberi nama pada tanah mereka yang membedakannya dari tanah orang lain: mereka hanya membedakan tanah kering dari laut. Ada apa di seberang laut? Sebuah misteri, kase—tidak dikenal. Ada yang menyebutnya pah uf, yang kurang lebih berarti “akar bumi”, tapi secara metaforis bisa berarti “dunia nenek moyang” (sesuai kiasan bahwa nenek moyang adalah akar, dan generasi-generasi berikut adalah batang, ranting dan daun). Menurut salah satu mitos asal-usul orang Timor, memang nenek moyang mereka datang dari tempat lain (pah uf) dan mendarat di pantai selatan Timor, tapi pah uf sendiri masih merupakan sebuah misteri.

Pola berpikir ini mengikuti salah satu kategori pengklasifikasian yang dominan di Timor, yaitu luar/dalam. Yang di luar adalah liar dan yang di dalam adalah jinak. Dengan pola pandang seperti ini, dapat disimpulkan bahwa secara tradisional tidak ada konsep lokal/global melainkan konsep dalam/luar, jinak/liar atau pah meto/pah uf. Dari pah uf bisa datang hal yang baik atau hal yang berbahaya, tapi sifat misteri yang paling menonjol. Semua dari dunia luar adalah kase, tidak dikenal.

Sebenarnya pada skala yang lebih luas kita mendapat perspektif yang serupa dalam peta-peta dunia yang dibuat di Eropa sebelum masa Columbus dan Magelhaes. Waktu itu masih diperdebatkan apakah bumi ini rata seperti piring atau bulat seperti bola. Dalam peta-peta ini digambarkan pulau-pulau dan benua yang sudah dikenal (walaupun sering tidak akurat), tapi di sekeliling pinggir peta digambarkan naga-naga yang ganas, dengan catatan, “Here be monsters” (di sini ada raksasa-raksasa). Sama seperti dalam konsep orang Timor, dalam = jinak dan luar = liar. Dunia dipandang bukan sebagai suatu keutuhan melainkan sebagai kawasan yang kita kenal, dikelilingi oleh sebuah misteri yang berbahaya. Konsep tentang bola bumi (globe) sebagai suatu keutuhan, yang pada dasarnya ada batas-batasnya yang jelas dan dapat ditelusuri dan dikenal, baru muncul perlahan-lahan dalam masa penjelajahan yang mengawali gelombang globalisasi yang pertama, yaitu zaman kolonial. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebelum pasangan lokal/global hadir, terdapat pasangan pribumi/liar, di mana dunia “kita” (pribumi) dianggap relatif aman dan kawasan eksternal dianggap misterius dan berbahaya. Dunia pribumi ada di pusat dan dunia liar mengelilinginya.

Sebaliknya, dalam konsep lokal/global, tidak ada pusat (atau ada banyak pusat) dan semua lokasi adalah bagian dari suatu keutuhan yang lebih besar. “Lokal” beralih dari bentuk tunggal menjadi jamak, dan oleh karena itu menjadi sebuah pilihan: orang yang mau makan di restoran boleh memilih masakan Padang, Manado, Makassar, Cina, Thai, Kentucky Fried Chicken, McDonalds…atau masakan lokal—padahal semuanya adalah masakan lokal pada tempat asalnya. Beli apel atau jeruk, boleh memilih yang dari Malang, Timor atau Zelandia Baru. Pemuda di Timor yang mencari kerja boleh berkebun di tanah leluhur, menjaga toko di Kupang, menjadi buruh pabrik di Surabaya atau ikut TKI ke Malaysia.

Fenomena seperti ini menggambarkan inti dari definisi klasik tentang globalisasi, yang dirumuskan oleh Roland Robertson (1992: 8) sebagai “The compression of the world and the intensification of the consciousness of the world as a whole.” (Penciutan dunia dan intensifikasi kesadaran akan dunia sebagai satu keutuhan.) Anthony Giddens (1992: 64) memberi definisi yang serupa, tapi dengan penekanan pada dampak lokal: “Globalization can thus be defined as the intensification of worldwide social relations which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa.” (Globalisasi dapat diberi definisi sebagai intensifikasi hubungan-hubungan sosial mancanegara yang mengikat lokasi-lokasi yang saling berjauhan sedemikian rupa sehingga kejadian-kejadian lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di tempat yang sangat jauh, dan sebaliknya.)

Warga Indonesia tidak sulit mencari bukti terhadap definisi-definisi Robertson dan Giddens. Ingat saja krisis moneter pada 1997 dan dampaknya sampai pada penurunan Suharto beberapa bulan kemudian, atau dampak peristiwa 9/11 di World Trade Center di New York City terhadap keadaan keamanan dalam negeri. Tapi contoh-contoh ini mungkin pada skala yang terlalu besar. Saya mau kembali pada ceramah pejabat yang disebut pada awal tulisan ini. Memang dunia ini semakin “mengglobal”—dunia mau jadi apa lagi kalau bukan global?

Sang pejabat tidak salah mengangkat sejumlah tantangan yang sangat “in your face” (menusuk muka) akibat “kompresi” global. Tapi di balik kesadarannya akan globalisasi terdapat bayang-bayang dari konsep yang lebih kuno, yaitu yang kita gambarkan tadi sebagai “pribumi/liar”. Dalam hatinya, dan saya yakin dalam hati banyak pendengarnya, masih hidup suatu perasaan yang mendalam bahwa kampung halaman adalah tempat yang paling aman dan baik, sebuah benteng terhadap marabahaya yang mengancam di dunia luar/liar. Seperti seorang anak di pangkuan nenek di samping api dapur, dia memandang kegelapan di luar, dan berpikir dalam hati, “There be monsters.”

Kecenderungan untuk memandang pasangan lokal/global melalui lensa pribumi/liar (tapi masih terpesona dengan In-Focus) menjadi sumber banyak konflik sosial. Reaksi masyarakat Amerika setelah 9/11 boleh menjadi contoh: orang Islam dijaga-jaga, dan siapa saja yang berkulit coklat muda, apalagi kalau berjenggot, dicurigai, bahkan bisa ditahan pihak keamanan. Pintu masuk Amerika dikancing untuk siapa saja yang berasal dari “negara Islam”, namun tetap terbuka lebar-lebar untuk minyak dari negara-negara yang sama. Contoh-contoh dari Indonesia anda boleh tambah sendiri. Globalisasi membawa intensifikasi pembauran di antara beragam suku bangsa, budaya dan agama tanpa peduli apakah orang siap membaur. Tidak mengherankan kalau yang dari luar kemudian ditafsirkan sebagai ancaman terhadap identitas pribumi dan pada akhirnya melahirkan konflik. Sebagai reaksi terhadap globalisasi, muncul semacam primordialisme baru.

Di situlah saya melihat tantangan terbesar berhubungan dengan tema kita, “pendidikan teologi yang terbuka”. Dinamika yang dipaparkan di atas membungkus sebuah masalah teologis yang sangat krusial untuk dihadapi oleh misi gereja dalam era globalisasi. Saya akan coba membuka bungkusan itu.

“Tuhanlah yang Empunya Bumi” – Atau Iblis?

Sebenarnya agama Kristen bersama dengan agama-agama monoteistis yang lain sudah lebih dulu memiliki konsep globalisasi. Konsep tentang adanya satu Allah saja yang menciptakan langit dan bumi (dan di luar Dia tidak ada yang lain) membawa implikasi bahwa langit dan bumi pun satu. Apapun keanekaragamannya, dunia ini satu karena Penciptanya satu. Inilah globalisasi yang asali, bukan globalisasi yang disambung-sambung oleh manusia lewat perjalanan kuda, kapal, pesawat dan internet.

Pandangan ini dibedakan dengan pandangan di sebagian besar agama suku bahwa Sang Pencipta kita hanya berlaku di wilayah kita. Kalau kita ke luar wilayah kekuasaannya, maka kita jatuh ke dalam tangan Pencipta yang lain, yang kita tidak kenal dan yang tidak mengenal kita. Salah satu mazmur yang paling pahit adalah Mazmur 137, “Di Tepi Sungai-Sungai Babel.” Orang Israel dalam pembuangan menyanyi, “Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian Tuhan di negeri asing?” Walaupun kita bisa mengerti kesedihan mereka, dari sudut pandang monoteisme kita harus bertanya, “asing” bagi siapa? Apakah Tuhan bukan pencipta Babel juga? Seolah-olah Tuhan tinggal di Israel dan tidak bisa mendengar lagu mereka dari jarak yang begitu jauh.

Ternyata monoteisme yang sesungguhnya tidak tercapai begitu saja, dan tidak mudah dipertahankan. H. Richard Niebuhr dalam karya klasik Radical Monotheism and Western Culture menggambarkan sebuah proses peralihan dari politeisme menuju monoteisme yang sering terkandas pada henoteisme. Yang dimaksud dengan henoteisme adalah penyembahan pada salah satu ilah di antara ilah-ilah yang lain. Pertarungan di antara Yahweh dan Baal di gunung Karmel menjadi contoh yang baik. Orang Israel tidak menyangkal adanya Baal; mereka hanya meyakini bahwa Yahweh lebih hebat. Andaikata mereka sungguh percaya adanya satu Allah dan tidak ada ilah yang lain, maka pertarungan di Karmel menjadi perdebatan teologis tentang bagaimana mengenal dan menyembah pada Allah yang satu itu, bukan pembantaian pasukan imam dari ilah tandingan. Menurut Niebuhr sampai sekarang justru henoteisme yang lebih dominan, termasuk di kalangan orang Kristen. Ada kecenderungan untuk percaya bahwa “Allah kita” lebih hebat dari allah orang lain, sedangkan kalau kita sungguh monoteistis, tidak ada allah yang lain. Semua orang yang beribadah, beribadah pada Allah yang satu, entah dengan nama apapun atau dengan cara apapun.

Kalau monoteisme mengisyaratkan satu Allah dan satu dunia, maka implikasi yang berikut adalah adanya satu manusia juga. Keyakinan akan kemanusiaan bersama, betapapun berbeda bangsa, bahasa dan budaya, adalah sama langka seperti monoteisme yang konsekwen. Waktu Eropa mulai menjelajahi untuk menjajah, muncul perdebatan yang cukup sengit tentang apakah makluk-makluk berkaki dua yang ditemui adalah sesama manusia, ataukah sebuah jenis yang lain, yang tentu lebih rendah martabatnya. Di sepanjang sejarah hampir setiap upaya penindasan, perbudakan, bahkan genosida diawali dengan penyangkalan bahwa kelompok sasaran adalah sepunuhnya manusia. Sampai sekarang di NTT kalau kami mau caci maki seseorang, kami sebut dia sebagai anjing, babi, atau monyet. Artinya, bukan sesama manusia. Dalam bentuk yang lebih halus, di hampir setiap negara terdapat sejenis pribumi-isme, di mana kewajiban moral dan keprihatinan sosial hanya berlaku sepenuhnya bagi sesama orang pribumi atau pemeluk agama yang sama.

Kiranya sudah jelas bahwa dilema yang digambarkan di atas tentang globalisasi juga menghantui iman Kristen. Dari satu segi kita mengaku percaya pada satu Allah, pencipta langit dan bumi dan Bapak kita (walaupun Mama tidak disebut), dan mengaku siap untuk membawa kabar baik sampai ke ujung bumi; dari segi lain kita berhimpun dalam gereja ibarat benteng pertahanan keselamatan kita, dan kunci pintu terhadap lautan dosa di sekeliling“dunia yang jahat ini.” Di satu segi kitab-kitab Lukas menggambarkan sebuah dunia yang terbuka, bahkan sedang menantikan kabar baik dalam Injil Yesus Kristus; dan di segi lain kitab-kitab Yohanes menggambarkan orang percaya sebagai sekawanan domba yang harus dikandangkan supaya dilindungi dari serigala-serigala yang menguasai dunia. Dalam Injil-Injil Sinoptis Yesus mengamanatkan, “Kasihilah musuhmu.” Yohanes puas dengan “Kasihilah saudara-saudaramu yang seiman.” Mungkin kita cenderung mengambil jalan tengah: “Kasihlah musuhmu yang seiman.”

Tantangan bagi kita di sini adalah bahwa gereja berpegang pada kedua pandangan ini sekaligus, seolah-olah tidak ada kontradiksi. Namun implikasi etis dan misiologis sangat berbeda kalau kita hidup sebagai warga Kerajaan Allah atau sebagai pengungsi dari kerajaan Setan.

Terhadap dilema ini Niebuhr merumuskan sebuah pilihan teologis yang menurut saya merupakan pilihan yang paling menentukan berhubungan dengan tema kita. Kita harus memilih di antara dua kemungkinan: Apakah kita diselamatkan dari dunia yang binasa? Ataukah kita adalah bagian dari dunia yang sedang diselamatkan? (1963: 177)

Kalau kita ambil pilihan pertama, maka kita tidak perlu pusing dengan masalah pemanasan global, keadilan sosial, perdamaian atau kerukunan antar umat beragama. Semuanya adalah ampas; seolah-olah Allah memperlakukan dunia ciptaanNya seperti gula-gula karet: habis manis, sepah dibuang (tentu “manis” yang dimaksud adalah kita orang-orang pilihan Tuhan). Dalam pandangan ini satu-satunya pelayanan yang penting adalah penginjilan, supaya sebanyak mungkin dapat menjadi percaya sebelum pintu surga tertutup.

Sebaliknya, kalau kita memutuskan yang kedua, maka kelestarian lingkungan sama penting dengan penginjilan, perjuangan untuk keadilan dan perdamaian merupakan tanda-tanda Kerajaan Allah, dan kita terhisap bersama saudara-saudara yang beragama lain dalam satu keselamatan bersama.

Kedua pilihan ini sama-sama bisa didukung oleh kutipan-kutipan Alkitab. Dan kriteria kita haruslah kriteria teologis, bukan pertimbangan strategis tentang sikap mana yang paling ampuh untuk menghadapi globalisasi. Tapi bagi saya, yang kedualah yang lebih mencerminkan karya dan ajaran Yesus Kristus. Nampaknya secara implisit Fakultas Teologi UKDW telah mengambil kesimpulan yang sama, atau tidak akan mengupayakan sebuah pendidikan teologi yang terbuka. Dalam bagian terakhir saya mau menawarkan sebuah metafora bagi pendidikan teologi yang terbuka yang berasal dari salah satu tiang induk globalisasi masa kini: yaitu, internet.

Dari Ensiklopedia ke Wikipedia Teologi

Bagi anda yang sudah terbiasa berselancar di internet, hampir pasti anda telah menemukan Wikipedia, sebuah ensiklopedia gratis on-line. Sejak dimulai pada tahun 2001, Wikipedia telah berkembang sampai lima juta artikel dalam 150 bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Yang unik dari Wikipedia adalah keterbukaan, bukan hanya untuk dibaca oleh siapa saja dengan sambungan internet, tapi ditulis dan diedit oleh siapa saja. Sebuah artikel boleh disumbangkan oleh pakar S3 atau anak SMA; para pembaca kemudian boleh menambah informasi, mengoreksi hal yang dianggap keliru, atau memberi usul saran untuk dikembangkan oleh orang lain. Secara gotong-royong sebuah artikel akan dimatangkan sampai mencapai titik keterandalan yang sudah tidak dipertanyakan lagi.

Oleh karena sifat yang terbuka, artikel-artikel yang masuk mencerminkan minat, bakat dan kebutuhan para pemakai. Pembaca boleh minta pokok tertentu dikembangkan menjadi artikel, atau bertanya pada para penulis (lewat email) untuk menjernihkan hal-hal yang kurang jelas. Karena sifatnya on-line, artikel-artikel tentang peristiwa yang mutakhir masuk dengan cepat. Pada masa kebimbangan setelah tsunami tahun 2004, Wikipedia justru menjadi salah satu sumber informasi utama, karena cepat (wiki-wiki) menghimpun informasi dari saksi-saksi di berbagai negara dan dari orang di sekian banyak bidang ilmu.

Asyik. Tapi apa relevansinya dengan pendidikan teologi? Tentu saya tidak bermaksud bahwa pendidikan teologi harus dilakukan di internet (walaupun ada manfaatnya juga). Saya lebih melihat Wikipedia sebagai metafora dan model untuk sebuah komunitas pengetahuan yang terbuka, yang bisa bertumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan karunia yang ada pada komunitas itu, yang memberi kesempatan untuk semua orang berpartisipasi, dan yang bisa memberi respons yang cepat pada perkembangan-perkembangan termutakhir. Sifat-sifat ini yang menurut saya perlu diupayakan dalam sebuah kurikulum pendidikan teologi yang terbuka. Bagaimana caranya? Berikut beberapa gagasan yang boleh dipertimbangkan.

1. Beralih dari content ke process. Ensiklopedia teologi yang tradisional merupakan peninggalan dari zaman di mana teologi dianggap ratu para ilmu, dan terdiri dari segudang pengetahuan normatif yang perlu dikuasai oleh para pelajar. Universalitas dari ensiklopedia ini sudah lama dipertanyakan, dan pada prinsipnya sudah diganti dengan proyek kontekstualisasi, yang melihat pengetahuan teologis bukan lagi sebagai ensiklopedia am, tapi sebagai suatu persekutuan dialogis antara teologi-teologi lokal. Lagipula dalam cakrawala global, tidak ada batas-batas yang tetap pada teologi-teologi lokal ini, sehingga kurikulum yang terfokus pada content yang baku sudah tidak mungkin. Singkatnya, kalau esiklopedia teologi yang lama sudah kadaluarsa, lebih baik kita mulai membangun sebuah wikipedia teologi yang baru.
Untuk mencerminkan realitas yang baru ini, pendidikan teologi perlu memberi tempat yang lebih besar pada proses berteologi itu sendiri. Ibarat sekolah juru masak, para bakal teolog harus belajar berteologi, bukan hanya mengkonsumsi masakan teolog yang lain.

2. Beralih dari fokus pada marturia ke koinonia. Kuliah sebagai modus pendidikan utama diganti dengan dialog dan seminar (di mana baik mahasiswa maupun dosen menjadi pembawa materi). Partisipasi dalam dialog teologis ini perlu dibuka lebih luas, supaya mahasiswa tidak terisolir dari gereja yang mereka akan layani, dan warga gereja dan masyarakat dapat memanfaatkan kesempatan untuk bersuara juga. Sudah lama kita mengaku bahwa gerejalah yang berteologi, bukan hanya sejumlah pakar, tapi selama ini komunitas pendidikan teologi tidak mencerminkan segenap persekutuan orang percaya. Banyak sekolah teologi sudah ada program pendidikan teologi untuk kaum awam; sedapat mungkin program-program ini membaur dengan program studi formal. Mata kuliah tertentu bisa dibuka untuk umum, dan sebaliknya gereja bisa memesan pokok-pokok yang urgen dibahas dalam kehidupan gereja. Perlu disediakan ruang dalam kurikulum yang layak untuk pokok-pokok studi yang diprakarsai oleh mahasiswa dan oleh gereja-gereja pendukung.
Lebih dari itu, pendidikan teologi yang terbuka secara global berarti bahwa komunitas di mana kita berteologi harus lebih luas dari “kita-kita” yang terbiasa berkumpul di api dapur yang sama. Denominasi, agama, dan bangsa yang lain seharusnya hadir, kalau bukan secara fisik, paling sedikit dalam cakrawala berpikir dan pelukan keprihatinan komunitas kita.

3. Kompresi dan intensifikasi informasi dan relasi sosial, ekonomis dan politis sebagai akibat globalisasi berarti bahwa gereja harus memberi respons secara cepat pada hal-hal yang tak terduga sebelumnya. Apalagi di Indonesia pasca Orde Baru gereja semakin terpanggil untuk berperan dalam masyarakat sipil, memberi sumbangan pada pengembangan demokrasi dan proses politik yang sehat, menjadi mediator dalam konflik sosial, serta menjadi pembela hak asasi bagi masyarakat yang dimarginalkan atau digiling oleh mesin globalisasi ekonomi. Perkembangan ini berarti bahwa perlengkapan seorang pelayan ke depan harus termasuk pengetahuan (atau kemampuan untuk belajar) tentang ekonomi, politik, dan bahkan tentang fenomena globalisasi itu sendiri. Sudah lama di Amerika Serikat sebuah pendidikan liberal arts (humaniora) dianggap prasyarat untuk pendidikan teologi. Mungkin di Indonesia ilmu-ilmu sosial sudah diberi tempat yang lumayan dalam kurikulum teologi, tapi rasanya belum diberi tempat yang sewajarnya dalam praktikum. Kalau belajar dari model Wiki, kita bisa merekrut praktisi-praktisi dalam bidang-bidang ini (dari LSM, LBH, NGO, pelayanan kesehatan, pejabat pemerintah, perusahaan, partai politik, dsb.) menjadi bagian dari dialog teologis sekaligus narasumber untuk pendidikan praktikum yang lebih relevan. Misalnya, ketika Undang-Undang Anti-Pornografi dibahas di DPR, kita membahasnya juga dari segi teologisnya. Misalnya lagi, begitu terjadi tsunami dan gempa bumi, langsung disambut dengan pembahasan teologi bencana, dan mahasiswa sedapat mungkin terlibat dalam pelayanan darurat sebagai bagian dari pendidikannya. Dalam konteks globalisasi, pendidikan teologi yang terbuka harus juga menjadi pendidikan yang gesit.

4. Bagaimana nasibnya para dosen? Model Wiki kalau diikuti secara konsekwen menempatkan para pakar pada level yang sama dengan kaum awam. Pasti ada yang berkeberatan. Apalagi kalau kita sudah terbiasa memperkenalkan diri berdasarkan “jilid” mana yang kita kuasai dalam ensiklopedia teologi. Tentu disiplin ilmu yang kita kuasai tidak akan terhapus, tapi kita dituntut menjadi lebih luwes dalam pemanfaatannya. Catatan-catatan kuliah dari tahun-tahun lampau belum tentu dapat didaur ulang pada tahun ini. Kita dituntut menjadi contoh proses teologi yang terbuka dan bersedia melayani permintaan baik dari mahasiswa maupun dari gereja. Kita juga perlu terbuka untuk makin banyak mengajar sebagai tim lintas disiplin, termasuk disiplin non-teologi. Dan dalam produksi pengetahuan gaya Wiki, walaupun kita bukan lagi sumber utama, namun kita tetap berperan sebagai wasit, narasumber dan pelatih.
Usul saya yang berikut untuk pendidikan teologi yang terbuka mungkin yang paling berat diterima. Dalam pengamatan saya, selama ini fakultas-fakultas teologi ada pintu masuk, tapi tidak ada pintu keluar. Sekali seseorang menjadi dosen, maka dia tetap di situ sampai pensiun, kecuali dipilih menjadi pejabat Sinode atau kalah berat dalam sebuah konflik interen. Hal ini berarti bahwa proses peremajaan fakultas terhambat, dan dosen yang ada makin lama makin terasing dari gereja dan realitas pelayanan di jemaat. Kalau ikut gaya Wiki, maka baik pintu masuk maupun pintu keluar dibuka lebar. Bagi mereka yang masih ada minat dan kesempatan belajar, dapat dipertimbangkan untuk mendalami bidang-bidang nonteologi yang menunjang, seperti ekonomi, ekologi, sosiologi, dan politik.

Permasalahan global/lokal memang seluas dunia. Kita yang sudah lama menggumuli masalah kontekstualisasi dan baru mulai menikmati buahnya bisa saja merasa bahwa globalisasi dalam pendidikan teologi hanya tipu daya dari “Barat” untuk membuat kita selalu merasa terbelakang. Tapi kalau kita yakin bahwa “Tuhanlah yang empunya bumi, serta segala isinya,” maka bumi juga adalah konteks kita.

Yang terakhir, saya mohon dimaklumi kalau dalam penyampaian ini saya tidak pakai In-Focus.
_______________________________

Daftar Pustaka

Teori Globalisasi

Buell, Frederick 1994. National Culture and the New Global System. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Burawoy, Michael et al 2000. Global Ethnography. Berkeley: University of California Press.

Friedman, Thomas L. 2005. The World is Flat. New York: Farrar, Strauss, Giroux.

Giddens, Anthony 1990. The Consequences of Modernity. Stanford: Stanford University Press.

_______ 2003. Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives. New York: Routledge.

Hoogvelt, Ankie 2001. Globalization and the Postcolonial World: The New Political Economy of Development. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Morley, David, dan Kevin Robins 1995. Spaces of Identity: Global Media, Electronic Landscapes and Cultural Boundaries. New York: Routledge.

Robertson, Roland 1992. Globalization: Social Theory and Global Culture. London: Sage.

Wilson, Rob, dan Wimal Dissanayake, eds. 1996. Global/Local: Cultural Production and the Transnational Imaginary. Durham: Duke University Press.




Kritik terhadap Globalisasi

Bourdieu, Pierre et al 1993. The Weight of the World: Social Suffering in Contemporary Society. Stanford: Stanford University Press.

Brecher, Jeremy; Tim Costello dan Brendan Smith 2000. Globalization from Below: The Power of Solidarity. Cambridge, MA: South End Press.

Chossudovsky, Michel 1997. The Globalisation of Poverty: Impacts of IMF and World Bank Reforms. Penang: Third World Network.

Ellwood, Wayne 2001. The No-Nonsense Guide to Globalization. Oxford: New Internationalist.

Fakih, Mansour 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press.

Gills, Barry K., ed. 2000. Globalization and the Politics of Resistance. New York: Palgrave.

Hertz, Noreena 2001. The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy. New York: Free Press.

International Forum on Globalization 2002. Alternatives to Economic Globalization: A Better World is Possible. San Fransisco: Berrett-Koehler.

Mittelman, James H. 2000. The Globalization Syndrome: Transformation and Resistance. Princeton: Princeton University Press.

Ritzer, George 2006. The Globalization of Nothing: Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Setiawan, Bonnie 2001. Menggugat Globalisasi. Jakarta: INFID.


Tanggapan Teologis

Augsburger, David W. 1986. Pastoral Counseling Across Cultures. Philadelphia: Westminster Press.

Balasuriya, Tissa 1994. Teologi Siarah. Jakarta: BPK.

Borrong, Robert P. 1999. Etika Bumi Baru. Jakarta: BPK.

Brubaker, Pamela K. 2001. Globalization at What Price? Economic Change and Daily Life. Cleveland: Pilgrim Press.

Cobb, John B. 1992. Sustainability. Maryknoll: Orbis.

Duchrow, Ulrich 1999. Mengubah Kapitalisme Dunia: Tinjauan Sejarah-Alkitabiah bagi Aksi Politis. Jakarta: BPK.

Ellison, Marvin Mahan 1983. The Center Cannot Hold: The Search for a Global Economy of Justice. Washington: University Press of America.

Evans, Alice dan Robert, David Roozen, eds. 1993. The Globalization of Theological Education. Maryknoll: Orbis.

Heslam, Peter 2004. Globalization and the Good. Grand Rapids: Eerdmans.

Knitter, Paul F. 1996. Jesus and the Other Names: Christian Mission and Global Responsibility. Maryknoll: Orbis.

Kung, Hans, dan Karl-Josef Kuschel 1999. Etik Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Niebuhr, H. Richard 1962. Radical Monotheism and Western Culture. New York: Harper.

_______ 1963. The Responsible Self. New York: Harper.

Ruether, Rosemary Radford 1992. Gaia and God: An Ecofeminist Theology of Earth Healing. San Fransisco: Harper Collins.

Van Drimmelen, Rob 1998. Faith in a Global Economy: A Primer for Christians. Geneva: WCC Publications.

Wicks, Robert J. dan Barry K. Estadt, eds. 1993. Pastoral Counseling in a Global Church. Maryknoll: Orbis.
-----------

Pdt. John Campbell-Nelson, Ph.D. melayani Gereja Masehi Injili di Timor; anggota pengurus Oase.

Tidak ada komentar: